Senin, 12 Januari 2009

Bacalah Suratku Saudara Perempuanku

Saudara perempuanku...
ada satu pintu yang masih terbuka,
saat ruang padat oleh kepalsuan. Sering badai mengamuk di depan kita, kita yang biduk kecil itu hanya lelap oleh riak gelombang saja. Buihnya menjejal di kerongkongan dan cara pandang kita yang juga kecil pula.
Sekecil langkah kita...

merasa ramah pada ego kodrat
garis hidup berteriak
angin imitasi terkekeh-kekeh
ke sudut taman
ke lorong jembatan
ke sudut lokalisasi
ke petak-petak kardus

adalah kalian berebut petak demi petak
adalah kalian penjual jasa birahi
adalah kalian penghibur BH di saku lelaki
adalah kalian bulldozer jebolnya para mani

aku hanya menutup mata, saudaraku
kala kalian menjerit sedikit menungging

"susu harus terbeli"

"suamiku sakit TBC tahunan

"si ujang belum makan"

apa, kerja...??
Kerja harus ada ijazah, keahlian, koneksi, uang sogok, uang tips satpam...!! Sedang saya tak kenal bangku sekolah...

Berdagang...??
Modal dari mana...?? Jaman sekarang harus ada borekh, apalagi pedagang kecil harus kuat lari kalau tidak punya lokasi.
Pembantu rumah tangga...??
Seratus , duaratus ribu...? Anak saya lima... beras naik...listrik naik...uang sekolah naik...semua naik... mana cukup...!!!

TKW...! Yang sekarang disebut nakerwan itu...?? Sama saja...!!
Negara kita hanya butuh aset TKW, pengiriman tenaga kerja sendiri sering tidak bertanggung jawab.
belum lagi...kita bakal ludes disantap orang-orang asing itu...

Jawatan sosial??
Mereka hanya mikir sosial, yang bersosial ke jawatan sosial itu sendiri...

Dosa??
Tuhan sendiri tak ingin saya berpura-pura menderita...!!
Ahli agama??
Tetangga sebelah itu, dia juga bingung duit...
Dan banyak yang menjual petunjuk-petunjuk lewat agama...

Akh... sudahlah...!!
Kami orang kecil, kami orang kotor...
Tapi apakah adakah jaminan bahwa kami lapisan paling kotor di jaman yang sulit ini...
Mengapa hanya pelacur sorotan khalayak ramai?
Mengapa hanya pelacur biang keladi penyakit sulit?
Mengapa hanya pelacur tudingan rongsok menipisnya keimanan?
Mengapa??? mengapa hanya sebuah pelacur...??

Padahal sebagai makhluk sederhana kami hanya ekor ilmu sederhana,
Anak sekolah... uang...
Makan... uang...
Kencing pun... uang...

Kami hanya pelor jarak dekat
Di peraturan-peraturan hidup ini yang mengotak-ngotakkan nasib kami
Tapi bagaimana budaya menyeringai di balik topeng?

Maafkan aku saudara perempuanku...
Bila langit hanya pandai menangis berulang selalu
Aku hanya bisa menutup mata
Datanglah
Ada sat pintu yang masih terbuka...!!



Lawng, 20 Oktober 1998 by Lintang Sugianto

1 komentar:

  1. puisi dari lintang ini sangat kontekstual. Dan kita berharap akan ada puisi yang akan keluar dari nurani ibu Ngesti. ditunggu,......

    BalasHapus